Review Sayap Kayu, Film Pendek Minimalis dengan Drama Romansa yang Cukup Manis

Review Film Pendek Sayap Kayu (2023)

Sedikit berbeda dari biasanya, kali ini saya akan mencoba mengulas film pendek karya anak Teater Crystal UPN Veteran Jawa Timur yang baru rilis di tanggal 8 November lalu. Tak ada ekspektasi apapun dari saya sebelum menontonnya, salah satu faktornya karena film pendek tak memiliki trailer apapun sebelum perilisannya, dan untuk faktor lainnya mungkin karena genre dari film pendek ini yang terlalu general, mengisahkan seputar drama keluarga dan romansa remaja yang sudah sangat sering diadaptasikan ke dalam dunia sinema.

Bicara tentang drama keluarga dan romansa, saya jadi ingat kalimat dari John Wooden dalam salah satu bukunya.

"Hal yang paling bernilai di dunia ini adalah keluarga dan cinta." Begitulah kurang lebih kalimatnya, terdengar sangat klise memang, tapi arti yang terkandung di dalamnya seolah tidak pernah habis untuk dibahas.

Sama halnya dengan sebuah keluarga dan cinta, impian dan cita - cita juga sama bernilainya. Impian seolah menjadi bahan bakar bagi manusia untuk terus memperjuangkan sesuatu dalam hidupnya. Hal itu juga yang dilakukan oleh Cahya di film ini. Dia sangat ingin menggapai impiannya menjadi seorang pembuat pesawat, persis dengan apa yang dilakukan oleh mantan presiden negeri ini, B. J. Habibie. 

Usaha Cahya pun tidak main-main, setiap harinya dia bekerja keras untuk membuktikan bahwa impiannya bukanlah sebuah angan-angan belaka, apalagi setelah kepergian ayahnya dalam sebuah kecelakaan dinas beberapa tahun sebelumnya yang sangat mengguncang hidupnya.

Tapi karena saking kerasnya usaha yang dilakukan oleh Cahya, dia mulai melupakan arti dari cinta dan keluarga yang sebenarnya memiliki dampak yang lebih besar dalam hidupnya.

Dengan durasinya yang hanya berkisar 39 menit saja, menurut saya Sayap Kayu memiliki alur cerita yang terlalu kompleks untuk menjadi sebuah film pendek. Ada sangat banyak sekali plot hole di dalamnya, dan 39 menit masih jauh dari kata cukup untuk bisa menyelesaikannya.

Banyak sekali hal yang masih bisa dikupas lebih dalam dari film ini, salah satunya yaitu hubungan antara Cahya dengan ayahnya yang menurut saya durasinya masih terlalu minim, padahal peran dari ayah Cahya di film ini sangat penting untuk menjadi trigger dari ambisi yang besar dalam diri Cahya.

Pergolakan dalam diri Cahya juga kurang terpancar dengan matang karena alurnya yang tidak stabil sejak awal. Film ini menampilkan banyak momen filashback di dalamnya yang mungkin dimaksudkan untuk memperdalam karakter utamanya, tapi momen flashback tersebut justru malah menjadi faktor utama yang membuat alur ceritanya menjadi tidak solid.

Ditambah lagi, minimnya pendalaman karakter lainnya juga menjadi kekurangan yang cukup mencolok, meski sebenarnya itu semua sudah agak tertutup dengan kualitas akting dari para pemainnya yang secara mengejutkan berhasil tampil dengan cukup memukau.

Cahya berhasil tampil sebagai karakter utama yang cukup berkesan di film pendek ini. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang selalu murung menandakan bahwa dia memiliki banyak sekali konflik dalam dirinya yang tak pernah bisa dia ungkapkan. Karakter Gina sebagai pasangan dari Cahya juga tak kalah bagusnya, dia hadir sebagai karakter yang selalu mencairkan suasana dengan wataknya yang selalu terlihat ceria. Chemistry antar keduanya sudah berhasil ditampilkan dengan baik, yang membuat unsur romansanya terasa lebih dominan di film ini. 

Untuk masalah teknis seperti gaya sinematografi, editing, grafis, lightning, suara, backsound, dll saya tidak bisa berkomentar banyak karena semuanya terlihat sangat minimalis. Ya mungkin karena budget dari film ini yang pas pasan, jadi bisa dimaklumin lah kalo di bagian teknisnya masih banyak yang kurang.

Terlepas dari itu semua, saya harap kedepannya kualitasnya bisa lebih ditingkatkan lagi, khususnya pada alur ceritanya yang harusnya bisa lebih tertata lebih rapi lagi. Masalah teknis bukan menjadi masalah jika ceritanya berhasil tersampaikan ke penonton dengan baik.

Banyaknya take panjang dengan transisi angle kamera yang minim saya rasa membuat Sayap Kayu ini lebih terlihat sebagai sebuah teater daripada film, ya mungkin karena pembuatnya juga merupakan anak teater, jadi masuk akal jika gayanya lebih mengarah kesitu.

Tapi model film yang minimalis kayak gini sebenarnya bisa menarik juga kok asalkan ceritanya solid dan bagus, contohnya kayak film bergaya one shot seperti Birdman (2014) dan 1917 (2020) yang dari awal sampe akhir filmnya seolah hanya dibuat dalam satu kali take doang, tapi filmnya tetap berhasil memukau di mata para penontonnya.


SCORE

4/10

Sebagai sebuah film pendek dengan style yang minimalis, overall Sayap Kayu sudah cukup oke bagi saya, khususnya pada kualitas akting dari pemerannya yang sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk sebuah debut film pendek pertama.

Jika kalian penasaran dengan keseluruhan filmnya, kalian bisa langsung saja menontonnya di YouTube lewat tautan di bawah.


***

Sekian review dari saya mengenai film pendek Sayap Kayu. Perlu diingat bahwa seluruh isi postingan ini sepenuhnya berasal dari opini saya pribadi yang sifatnya sangat subjektif. Maka dari itu, jika ada dari kalian yang ingin menambahkan silahkan langsung saja tulis di kolom komentar.

Jangan lupa selalu kunjungi blog ini untuk mendapatkan informasi menarik seputar film dan serial favorit lainnya.

Terima kasih.

Dava

Hanya seorang manusia biasa yang hobi nonton film dan main game

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form